Zakat Fitrah terdiri dari dua kata: zakat dan fitrah. Secara bahasa, zakat berarti an-namaa’ (tumbuh), az-ziyadah (bertambah), ash-sholah (perbaikan), dan At-Thaharah (mensucikan). Kegiatan mengeluarkan sebagian harta dinamakan zakat, karena bisa menambah harta dengan keberkahan dan membersihkan diri pemiliknya dengan ampunan. [Simak Thilbatut Thalabah 1/227, Tahdzibul Lughah 3/395].
Sementara fitrah artinya aslul khilqah, keadaan awal ketika manusia diciptakan oleh Allah. Allah berfirman,
فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
…Fitrah yang Allah tetapkan, dimana Allah menciptakan manusia sesuai fitrah tersebut… (QS. Ar Rum: 30).
Maksud kalimat “zakat fitrah” adalah zakat untuk badan, jiwa. Karena itu disebut zakat fitrah yang artinya zakat untuk asal penciptaan. (Al-Majmu’ karya An-Nawawi, 6/103).
Istilah yang lebih tepat, dan yang disebutkan dalam hadis adalah zakat fitri. Karena zakat ini dikeluarkan saat waktu fitri, yaitu masyarakat tidak lagi berpuasa.
Zakat fitrah secara istilah adalah zakat yang wajib ditunaikan setelah menyelesaikan ramadhan, sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan jorok. (Zakat fitrah karya Syaikh Said Al Qohtoni)
1. Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim yang memiliki sisa bahan makanan sebanyak satu sha’ (sekitar 2,5 kg) untuk dirinya dan keluarganya selama sehari semalam ketika hari raya.
Dalilnya adalah :
1. Dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, kepada setiap budak atau orang merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum masyarakat berangkat shalat id. (HR. Bukhari)
2. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bari orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan jorok serta sebagai makanan bagi orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat id maka zakatnya diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat id maka hanya menjadi sedekah biasa. (HR. Abu Daud, Ad Daruquthni dan dishahihkan Al Albani)
2. Niat Zakat Fitrah
Niat adalah amalan hati, karena itu, ulama sepakat tidak boleh melafalkan niat. melafalkan niat, sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat.
Inti niat adalah keinginan untuk melakukan ibadah tersebut karena Allah. Seseorang dianggap telah memiliki niat zakat fitrah, ketika dia sudah memiliki keinginan untuk menyerahkan sejumlah beras sebagai zakat fitrah, ikhlas karena Allah.
Niat ikhlas dalam ibadah adalah bagian dari rukun diterimanya ibadah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua amal tergantung pada niatnya.” (H.r. Bukhari dan Muslim). Jika seseorang beribadah namun tidak ikhlas, ibadahnya tidak diterima oleh Allah.
Niat adalah amal yang bertempat di hati. Dengan demikian, tidak boleh melafalkan niat dalam melakukan ibadah apa pun, termasuk ketika membayar zakat fitrah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –orang yang paling sempurna ibadahnya– tidak pernah mengajarkan maupun mengamalkan lafal niat, dalam ibadah apa pun.
Berniat itu wajib dilakukan tetapi tidak boleh dilafalkan. Oleh karena itu, melafalkan niat termasuk perbuatan yang keluar dari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut ini beberapa keterangan ulama tentang larangan melafalkan niat. Dalam hal ini, kasus yang mereka bahas adalah melafalkan niat ketika shalat.
Pertama, Al-Qadhi Abur Rabi’ Asy-Syafi’i mengatakan, “Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunah. Bahkan, ini adalah sesuatu yang dibenci. Jika ini mengganggu jemaah shalat yang lain maka hukumnya haram.” (Al-Qaulul Mubin, Syekh Masyhur Hasan, hlm. 91)
Kedua, kesalahpahaman terhadap keterangan Imam Syafi’i terkait bacaan di awal shalat. Sebagian orang yang bermazhab Syafi’iyah salah paham terhadap ucapan Imam Syafi’i. Mereka mengira bahwa Imam Syafi’i mewajibkan melafalkan niat. Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “… Shalat itu tidak sah, kecuali dengan an-nuthq.” (Al-Majmu’, 3:277)
“An-nuthq” artinya ‘berbicara’ atau ‘mengucapkan’. Sebagian pengikut Syafi’iyah memaknai “an-nuthq” di sini dengan ‘melafalkan niat’. Padahal, ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah. Dijelaskan oleh An-Nawawi bahwa yang dimaksud dengan “an-nuthq” di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat, namun maksudnya adalah ‘mengucapkan takbiratul ihram’. An-Nawawi mengatakan, “Ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian telah berbuat keliru. Yang dimaksud Asy-Syafi’i dengan ‘an-nuthq‘ ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram.’” (Al-Majmu’, 3:277)
Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi’i; beliau mengatakan, “Az-Zubairi telah salah dalam mentakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah. Yang dimaksudkan ‘wajibnya mengucapkan’ adalah ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204)
Selama sudah ada keinginan dalam hati seseorang untuk melakukan zakat fitrah maka dia sudah dianggap berniat melakukan zakat fitrah.
Hanya saja, untuk bisa mendapatkan pahala yang lebih, seseorang bisa menghadirkan hal yang lain. Di antara hal yang perlu dihadirkan dalam hati ketika hendak beribadah adalah:
- Ibadah ini dilakukan karena mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Zakat fitrah ini dalam rangka melestarikan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Ingin menunjukkan rasa cinta dan perhatiannya kepada orang miskin muslim yang membutuhkan.
- Jika diberikan kepada kerabat maka hadirkan niat untuk bersilaturahim dan menjalin hubungan dekat dengan keluarga.
Dengan menghadirkan beberapa niat di atas ketika beramal, seseorang akan mendapatkan pahala lebih.
Contoh tidak melakukan niat zakat
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, terdapat pertanyaan, “Apa hukum orang yang menyerahkan sedekah di bulan Ramadan, hanya saja tidak dimaksudkan untuk zakat fitrah (tidak niat zakat fitrah) , tetapi hanya sebatas sedekah untuk membantu orang yang membutuhkan? Apakah sedekah ini bisa menggantikan kewajiban zakat fitrah?”
Jawaban, “Zakat fitrah adalah ibadah, yang tidak sah kecuali dengan niat, sebagaimana yang telah dipahami. Orang yang mengeluarkan sedekah tersebut di bulan Ramadan –dengan tujuan membantu orang yang membutuhkan– tidak bisa disebut zakat fitrah, berdasarkan kesepakatan ulama, karena sedekah tersebut tidak bisa menggantikan kedudukan zakat fitrah.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 23506)
Fatwa ulama Hadramaut (sumber: http://mualm.com)
Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim pernah ditanya, “Apakah disyaratkan adanya niat ketika membayar zakat fitrah, sebagaimana ibadah lainnya? Bolehkan niat ini dilafalkan?”
Beliau menjelaskan, “Termasuk syarat sah membayar zakat fitrah adalah niat karena niat merupakan amal yang agung dalam Islam. Sebagaimana kandungan hadis dari Umar bin Khaththab; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى
‘Sesungguhnya, amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya (pahala) yang diperoleh seseorang sesuai niatnya.’ (H.r. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, suatu amal tidak akan diterima kecuali dengan niat; tempat niat itu di hati. Imam Nawawi telah menyebutkan dalam kitabnya, Al-Majmu’, bahwa jika seseorang berniat di dalam hatinya tanpa dilafalkan dengan lisannya maka amalnya sah, ulama menyepakati ini. Sebaliknya, jika ada orang yang melafalkan niat dengan lisannya –yaitu niat untuk menunaikan zakat fitrah– namun hatinya tidak berniat maka hampir semua ulama mengatakan amalnya tidak sah. Karena itu, niat itu bertempat di hati, dan tidak ada anjuran untuk melafalkannya karena tidak ada dalil tentang hal itu.” (Nafahatul Atrh fil Ijabati ‘ala As’ilati Zakatil Fitri, no. 6)
Syekh Ahmad bin Hasan Al-Mu’alim adalah salah satu ulama barisan ahlus sunah dari Wadi ‘Amd, Hadramaut. Beliau merupakan khatib tetap di Masjid Khalid bin Walid Al-Mikla di Hadramaut. Beliau juga menjadi ketua “Majelis Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah” di Hadramaut.
3. Syarat wajib zakat fitrah
Syarat wajib zakat fitrah ada tiga:
Pertama, islam. Zakat ini wajib bagi setiap kaum muslimin: orang merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita, anak maupun dewasa. Berdasarkan hadis Ibn Umar: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah…. kepada setiap budak atau orang merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin…(HR. Bukhari)
Kedua, memiliki bahan makanan lebih dari satu sha’ untuk kebutuhan dirinya dan keluarganya, selama sehari semalam ketika hari raya
Ketiga, telah masuk waktu wajibnya pembayaran zakat, yaitu ketika terbenamnya matahari di hari puasa terakhir, menjelang tanggal satu syawal. Berdasarkan hadis Ibn Umar,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri setelah ramadhan…(HR. Bukhari).
Makna: “…fitri setelah ramadhan…” waktu fitrah Ramadhan terjadi ketika matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang menjumpai waktu ini maka dia wajib membayar zakat fitrah. Sehingga orang yang meninggal sebelum terbenamnnya matahari di hari terakhir Ramadhan, dia tidak wajib zakat. Demikian pula bayi yang dilahirkan setelah terbenamnya matahari di hari terakhir ramadhan, juga tidak wajib zakat.
4. Siapakah yang wajib zakat?
Zakat fitrah merupakan kewajiban untuk semua kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun wanita, anak maupun dewasa. Berdasarkan hadis Ibn Umar,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah…. kepada setiap budak atau orang merdeka, laki-laki atau wanita, anak maupun dewasa, dari kalangan kaum muslimin…(HR. Bukhari)
Seorang kepala keluarga berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya dan orang-orang yang wajib dia nafkahi, baik budak, anak, maupun istri.
5. Waktu Membayar Zakat Fitrah
Dilihat dari waktunya, pembayaran zakat fitrah ada 4 tingkatan:
pertama, dibolehkan membayar zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya. Berdasarkan riwayat dari Nafi’
كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Ibn Umar radliallahu ‘anhu, bahwa beliau membayar zakat fitrah kepada panitia penerima zakat fitrah. Mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Bukhari secara muallaq, keterangan hadis no. 1511).
Dalam riwayat lain dari Nafi – murid Ibn Umar-, bahwa beliau ditanya: Kapan Ibn Umar membayar zakat fitrah? Beliau menjawab,
إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Jika panitia zakat sudah duduk (siap menerima zakat). Beliau ditanya lagi: Kapan panitia siap? Nafi’ menjawab: sehari atau dua hari sebelum hari raya. (HR. Ibn Khuzaimah 2397 dan sanadnya dishahihkan Al-Albani)
kedua, dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah pada pagi hari raya sebelum shalat id. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibn Umar,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat fitrah untuk dibayarkan sebelum masyarakat berangkat shalat id. (HR. Bukhari 1509).
Keempat, tidak boleh menunda pembayaran zakat fitrah sampai setelah shalat. Barangsiapa yang mengakhirkan pembayaran zakat fitrah setelah shalat tanpa udzur maka dia harus bertaubat dan segera mengeluarkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
“Siapa yang menunaikan zakat fitrah sebelum shalat id, maka zakatnya diterima. Dan siapa yang memberikannya setelah shalat id, maka nilainya hanya sedekah biasa.” (HR. Abu Daud 1609, Ibn Majah 1827, dan dihasankan Al-Albani).
6. Zakat Fitrah Hanya Dengan Bahan Makanan Pokok
Zakat fitrah hanya boleh dibayarkan dalam bentuk bahan makanan yang umumnya digunakan masyarakat setempat, seperti beras, kurma, atau gandum.
Dari Abu said al khudri radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
Kami mengeluarkan zakat fitrah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sha’ bahan makanan (HR. Bukhari 1510)
Abu Said radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan,
وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Yang menjadi makanan pokok kami adalah gandum, anggur kering, keju, dan kurma.” (HR. Bukhari 1510)
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh para sahabat untuk membayar zakat fitrah dengan kurma, gandum, dan yang menjadi bahan makanan pokok masa silam.
Dari ibn umar radliallahu ‘anhu,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum….(HR. Bukhari)
Bolehkah membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?
Tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk uang. Karena hal ini bertlak belakang dengan ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini adalah pendapat hampir seluruh ulama.
Imam malik mengatakan: Tidak sah seseorang membayar zakat fitrah dalam bentuk barang dagangan. Tidak demikian yang diperintahkan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mudawanah karya Syahnun, 2/390)
Imam malik juga mengatakan: wajib membayar zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan yang umumnya digunakan oleh masyarakat di tahun tersebut. (Ad Din Al Khos. Dinukil dari Ahkam Zakat Fitrah karya Syaikh Nida Abu Ahmad)
Imam As Syafi’i juga mengatakan: wajib membayar zakat fitrah dengan satu sha’ bahan makanan yang umumnya digunakan oleh masyarakat di tahun tersebut. (Ad Din Al Khos. Dinukil dari Ahkam Zakat Fitrah karya Syaikh Nida Abu Ahmad)
Imam Ibn Qudamah mengatakan: Jika ada orang yang mengeluarkan zakat dengan selain bahan makanan, berarti dia telah menyimpang dari dalil nas, sehingga tidak sah, seperti mengeluarkan zakat dalam bentuk uang. (Al mughni, 5/482)
An Nawawi mengatakan: Tidak sah membayar zakat fitrah dengan uang menurut madzhab kami. Ini adalah pendapat Malik, Ahmad dan Ibnul Mundzir. (Al Majmu’, 6/144)
7. Ukuran Zakat Fitrah
Ukurannya satu sha’ untuk semua jenis abahan makanan
dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah dengan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum…(HR. Bukhari)
Dari Abu said al khudri radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا نُخْرِجُ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
Kami mengeluarkan zakat fitrah pada hari raya dengan satu sha’ makanan, …..(HR. Bukhari & Muslim)
Ukuran satu sha’ itu sama dengan empat mud. Sedangkan satu mud adalah ukuran takaran yang sama dengan satu cakupan dua tangan. Ukuran satu sha’ kurang lebih setara dengan 3 kg. (Majmu’ fatawa komite fatwa Arab saudi, no. Fatwa: 12572).
Apa yang difatwakan komite fatwa Arab saudi adalah sikap aman, dengan menggenapkan satu sha’ menjadi 3 kg. Karena sha’adalah ukuran volume, sehingga sangat sulit untuk bisa dikonversi ke satuan massa. Satu sha’ gandum akan berbeda dengan 1 sha’ beras, karena massa jenisnya berbeda.
Dr. Yusuf bin Abdillah Al-Ahmad dosen di Fakultas Syariah di Universitas King Saud melakukan sebuah penelitian tentang berapa volume sha’ di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau menyimpulkan bahwa satu sha’ = 3280 ml (3,28 liter).
Ukuran itu beliau gunakan untuk menakar beberapa jenis makanan,
- Beras Mesir, beratnya sekitar 2,73 Kg
- Beras Amerika, beratnya sekitar 2,43 Kg
- Beras merah, beratnya sekitar 2,22 Kg
- Gandum halus, beratnya sekitar 2,8 Kg
Sumber: http://www.islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=2022
8. Zakat Fitrah HANYA Untuk Orang Miskin
Golongan yang berhak menerima zakat fitrah adalah fakir miskin saja, dan tidak boleh diberikan kepada selain fakir miskin.
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah, sebagai pembersih bari orang yang puasa dari segala perbuatan sia-sia dan ucapan jorok serta sebagai makanan bagi orang miskin…(HR. Abu Daud 1609, Ad-Daruquthni 2067 dan dishahihkan Al Albani)
As Syaukani mengatakan:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْفِطْرَةَ تُصْرَفُ فِي الْمَسَاكِينِ دُونَ غَيْرِهِمْ مِنْ مَصَارِفِ الزَّكَاةِ
Pernyataan “makanan bagi orang miskin” menunjukkan bahwa zakat fitrah hanya diserahkan kepada fakir miskin dan bukan ashnaf (golongan) penerima zakat selain mereka. (Nailul Authar, 4/218)
Ibnul Qoyim mengatakan:
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم تخصيص المساكين بهذه الصدقة ولم يكن يقسمها على الأصناف الثمانية قبضة قبضة ولا أمر بذلك ولا فعله أحد من أصحابه ولا من بعدهم
Diantara petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengkhususkan fakir miskin untuk zakat ini (zakat fitrah). Beliau tidak membagikannya kepada semua golongan penerima zakat yang jumlahnya delapan. Beliau juga tidak memerintahkannya, dan tidak ada seorangpun sahabat yang melakukannya, tidak pula ulama setelahnya…(Zadul Ma’ad, 2/21)
9. Zakat Fitrah Dibayar Di Tempat
Hukum asalnya, zakat fitrah didistribusikan kepada fakir miskin yang berada di daerah orang yang membayar zakat. Bardasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mengutus Mu’adz ke Yaman:
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِي أَمْوَالِهِمْ، تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ
…ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada bayar zakat, yang diambil dari orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin di kalangan mereka…(HR. Bukhari 7372)
Disamping itu, zakat fitrah merupakan zakat untuk jiwa. Sehingga mengikuti dimana jiwa tersebut berada.
Namun, dibolehkan mengirim zakat fitrah ke daerah lain karena adanya kebutuhan atau maslahat lainnya. Syaikh Abdul Aziz bin baz rahimahullah ditanya tentang hukum memindahkan zakat fitrah. Beliau menjawab: Boleh memindahkannya, dan sah zakatnya, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Namun membayar zakat zakat fitrah di daerah tempat tinggalmu itu lebih baik dan lebih menjaga kehati-hatian dalam beramal. (Majmu’ fatawa syaikh Ibn Baz, 14/215)
Read more https://konsultasisyariah.com/19723-panduan-zakat-fitrah-bagian-02.html\
Read more https://konsultasisyariah.com/19664-panduan-bayar-zakat-fitrah-bagian-01.html